Eksepsi Ditolak Majelis Hakim, Terdakwa Rudy Kurniawan Terancam 15 Tahun Penjara

Rudy
Terdakwa Rudy Kurniawan saat memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Depok. (Foto: Akhirudin)

DEPOKTIME.COM, Depok – Terdakwa Rudy Kurniawan yang terjerat kasus pidana asusila atau kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur terancam hukuman 15 tahun penjara.

Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) mengatur tentang sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, serta membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal ini menegaskan bahwa setiap tindakan kekerasan, pemaksaan, atau bujuk rayu yang melibatkan anak dalam hubungan seksual adalah tindak pidana yang dilindungi oleh UU Perlindungan Anak.

Sanksi pidana yang diatur dalam pasal ini, dan diperberat dalam Perpu No. 1 Tahun 2016, adalah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, serta denda paling banyak Rp5 miliar.

Dalam sidang lanjutan, terdakwa Rudy Kurniawan yang masih tercatat sebagai anggota DPRD Depok telah mengajukan eksepsi yang diajukan oleh tim penasihat hukumnya.

Akan tetapi, Majelis Hakim menolak seluruh keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa dalam sidang lanjutan yang digelar pada Senin, 7 Juli 2025.

Atas penolakan eksepsi tersebut, sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 16 Juli 2025 mendatang.

Atas hasil penolakan tersebut, Jaringan Masyarakat Sipil mendukung bagi aparat penegak hukum untuk memberikan hukuman maksimal untuk para pelaku kasus pidana asusila atau tindak cabul.

Dukungan tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan anak-anak untuk mengenali dan melindungi diri dari potensi ancaman.

“Korban kekerasan seksual anak dalam kasus ini adalah seorang anak, yang secara usia dan kondisi psikis sangat rentan,” ujar perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil, Sahida dalam keterangan resminya kepada awak media, Minggu, 6 Juli 2025.

Lebih lanjut diterangkannya, trauma akibat kekerasan seksual tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam dan berkepanjangan, bahkan seumur hidup.

“Dalam banyak kasus, korban anak juga menghadapi hambatan besar dalam mengakses keadilan karena stigma, tekanan sosial, dan relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban,” terangnya.

Oleh karena itu, keberpihakan negara melalui pengadilan kepada korban merupakan langkah penting dalam mewujudkan sistem hukum yang adil dan berperspektif korban. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kejahatan ini tidak hanya mengancam jiwa dan keselamatan anak, tetapi juga merusak masa depan, kehidupan pribadi, dan tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa. Lebih jauh lagi, kekerasan seksual terhadap anak merusak ketentraman, rasa aman, dan ketertiban sosial di masyarakat. (Udine)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *