DEPOKTIME.COM, Depok – Transformasi digital tidak hanya mengguncang dunia industri, tapi juga mengubah wajah budaya kerja di lingkungan kampus.
Di Politeknik LP3I Jakarta cabang Depok dampak ini terasa nyata, mahasiswa dan dosen kini berkomunikasi melalui WhatsApp, belajar lewat Google Classroom dan rapat lewat Zoom.
Perubahan ini membawa keuntungan berupa fleksibilitas, efisiensi, dan akses informasi yang luas. Namun, tantangan pun muncul, terutama soal komunikasi antar generasi.
Mahasiswa Gen Z yang tumbuh dengan emoji dan meme harus berinteraksi dengan dosen Gen X atau Baby Boomers yang lebih formal dan konvensional dalam menggunakan teknologi.
Teori komunikasi antar budaya menjelaskan bahwa perbedaan ini bisa menciptakan “cultural gap”.
Menurut Gudykunst, keberhasilan komunikasi sangat bergantung pada kemampuan mengelola kecemasan dan ketidakpastian.
Sementara Kim menekankan pentingnya adaptasi budaya agar individu bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan baru.
Kampus LP3I kini membentuk budaya kerja hybrid yakni kombinasi antara sistem kerja konvensional dan digital.
Mahasiswa bisa mengumpulkan tugas lewat email, berdiskusi lewat Telegram, tapi tetap menjalani evaluasi tatap muka.
Di satu sisi, ini menunjukkan kemampuan beradaptasi. Di sisi lain, masih ada risiko miskomunikasi dan menurunnya kedekatan emosional antar civitas akademika.
Solusinya? Literasi digital dan pelatihan komunikasi antar generasi. Mahasiswa perlu memahami etika komunikasi akademik, sementara dosen perlu lebih terbuka pada gaya komunikasi digital.
Pada akhirnya, transformasi budaya kerja bukan hanya soal teknologi, tapi tentang bagaimana kita belajar memahami dan menghargai perbedaan.
(Penulis Oleh Dinda Dwimanda | Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta)












