DEPOKTIME.COM, DepokDalam kasus korupsi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Kelurahan Sukamaju Kecamatan Cilodong, Kuasa hukum terdakwa Agustina Tri Handayani, Andi Tatang Supriyadi menyebut keterangan saksi ahli yang dihadirkan JPU dalam persidangan pada 11 Juli 2018 di Pengadilan Tipikor Bandung janggal.
Tatang menuturkan bahwa banyak kejanggalan keterangan ahli dari Inspektorat Kota Depok Syahril, dalam melakukan audit untuk menentukan kerugian negara pada kasus RTLH tersebut. Dia juga menyebut saksi ahli tidak tepat dalam menentukan metode kerugian negara.
“Audit yang dilakukan inspektorat hanya berdasarkan bon atau kwitansi. Tanpa melihat fakta di lapangan serta tidak melakukan apprisal terhadap hasil rehabilitasi RTLH, yang telah terbangun secara keseluruhan. Saksi ahli juga hanya melihat dua unit rumah warga dari kesuluruhan 68 unit yang dibangun,” tutur Tatang sapaan akrab pengacara muda di Kota Depok kepada Depoktime.com pada Kamis (12/07/2018).
Pengacara dari Kantor Hukum Andi Tatang Supriyadi dan rekan ini juga mengatakan kalau ahli hanya melakukan audit anggaran sebesar Rp15 juta untuk bahan material dan Rp3 juta untuk upah kerja seperti tertuang dalam Pasal 13 ayat dua Perwal No.40 Tahun 2013.
“Namun, ahli tidak melakukan audit terhadap uang sebesar Rp2 juta yang juga dianggarkan berdasarkan Pasal 13 ayat 3 Perwal No. 40 Tahun 2013. Sehingga patut dipertanyakan kemana uang sebesar Rp2 juta tersebut, siapa penerimanya, sesuai atau tidak peruntukkannya, serta kemana dana itu dialirkan,” katanya.
Tatang juga menjelaskan dalam persidangan tersebut Syahril menyatakan bahwa proposal pengajuan kegiatan rehabilitasi RTLH yang diperuntukan bagi 68 penerima manfaat, dibuat dan disusun oleh terdakwa Aulia dan Tajudin dan bukan dibuat oleh kliennya. Saksi juga mengatakan kalau ada aliran dana yang disalurkan kepada RT, RW, LPM, Lurah, dan Camat.
Dia juga mengatakan dasar hukum dakwaan JPU mengenai proposal sampai dengan pembuatan SPJ kurang tepat. Lantaran dalam dakwaannya JPU menggunakan Perwal Depok No. 27 Tahun 2016.
Seharusnya, katanya lagi, JPU hanya mengacu pada Perwal Depok No. 40 Tahun 2013 karena sangat spesifik dan mengatur rehabilitasi RTLH secara keseluruhan, mulai dari pengajuan permohonan sampai dengan penyusunan laporan pertanggungjawaban.
“Bahkan konsideran Perwal Depok No. 27 Tahun 2016 tidak sama sekali mengkaitkan Perwal No. 40 Tahun 2013. Artinya diantara Perwal Depok tersebut tidak saling berkaitan satu sama lain. Dalam Perwal 40 juga tidak menyebut kalau pengajuan permohonan rehabilitasi RTLH ini berasal dari Musrenbang atau Pokir anggota dewan,” pungkasnya. (Udine/DT).