DEPOKTIME.COM, Depok – Lahan seluas 53,8 hektare yang terletak di Tanah Merah Cipayung itu nyatanya merupakan aset milik PT Tjitajam. Padahal, lahan tersebut direncanakan pembangunan stadion bertaraf internasional di Kota Depok.
PT Tjitajam mempertanyakan apa dasar Pemkot Depok membangun stadion tersebut. Sementara, hak atas kepemilikan Lahan milik PT Tjitajam berdasarkan Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 257/Cipayung Jaya yang sudah terbit sejak 25 Agustus 1999.
Permasalahan ini dibahas pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi A DPRD Kota Depok, yang berlangsung di Ruang Paripurna DPRD Depok, Kamis, 24 Juli 2025.
“Saya sudah sampaikan, bahwa lahan yang direncanakan untuk dibangun stadion bertaraf internasional oleh Pemkot Depok di Tanah Merah Cipayung itu adalah lahan milik PT Tjitajam,” tutur Kuasa Hukum PT Tjiatajam, Reynold Thonak kepada awak media.
Kepemilikan lahan tersebut, sambung Reynold, didasari atas SHGB Nomor 257/Cipayung Jaya, yang diterbitkan pada 25 Agustus 1999 dan diletakan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur pada tahun 1999, yang pelaksanaan sitanya itu melalui Pengadilan Negeri Cibinong dan perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
“Karena gejolak usaha pembajakan PT Tjitajam di Dirjen AHU (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum), berikut aset-aset tanahnya terus berlanjut, maka tahun 2018 Kami mengajukan gugatan kembali di Pengadilan Negeri Cibinong, sebagai penggugat intervensi,” jelas Reynold.
Kemudian pada gugatan tersebut, Reynold mengatakan, selain mengabulkan gugatan kliennya, hakim yang mengadili perkara juga menganggap perlu untuk meletakan lagi sita jaminan, terhadap seluruh aset PT Tjitajam termasuk SHGB Nomor 257/Cipayung Jaya itu yang rencananya ingin dibangun stadion bertaraf internasional.
“Nah, oleh karena 10 putusan itu sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap yang memenangkan klien kami, baik di Pengadilan Negeri atau perdata biasa sampai PK (Peninjauan kembali), termasuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga sampai PK, putusan pidana karena klien kami sempat dikriminalisasi dalam perebutan lahan, saham dan aset-aset tanah PT Tjitajam,” kata Reynold.
Putusannya pun juga sampai ke Mahkamah Agung (MA), ungkap Reynold, di mana amar putusannya itu ‘bebas’ atau Vrijspraak. Putusan-putusan tersebut sudah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Cibinong, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, baik di Jakarta maupun di Jawa Barat.
Maka, menurutnya, semua pihak yang ikut dalam perkara ini termasuk Pemkot Depok, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, dan lembaga pemerintahan lainnya itu harusnya tunduk, terhadap 10 putusan yang telah ditetapkan inkrah dalam pokok perkara tersebut.
“Karena yang memenangkan perkara itu klien kami (PT Tjitajam). Sehingga aset-aset yang termasuk Tanah Merah Cipayung tersebut, sesuai dengan SHGB Nomor 257/Cipayung Jaya itu adalah milik PT Tjitajam dan masa berlaku SHGB itu selesai pada 2029,” jelas Reynold.
Menurutnya, ini menjadi hal yang lucu jika Satgas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengaku-ngaku atau mengklaim, bahwa lahan seluas 53,8 hektare atau setara lebih dari Rp7 triliun itu milik mereka.
“Konsep hukum agraria mana yang mereka pakai? Karena Satgas BLBI itu dibentuk eksekutif atau dibawah Presiden. Bagaimana Presiden melalui satgas itu memiliki hak milik tanah? Itu logika hukum yang ngaco,” geram Reynold.
Jika merujuk pada Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Reynold menerangkan, itu sangat jelas bahwa negara boleh menguasai hak atas tanah jika tidak ada pemiliknya.
“Kalau tanah itu ada pemiliknya apalagi jelas ada SHGB-nya, tentunya negara tidak dapat memiliki tanah tersebut, negara itu hanya boleh menguasai, bukan memiliki,” jelas dia.
Reynold menyayangkan, bahwa saat berlangsungnya rapat dengar pendapat itu BPN Kota Depok menyatakan, bahwa aset tersebut merupakan milik eks BLBI karena PT Tjitajam dituding pernah hutang kepada bank yang dilikuidasi oleh negara pada tahun 1998.
“Saat dituding PT Tjitajam punya hutang kepada bank yang dilikuidasi oleh negara, saya katakan bahwa sejak kapan PT Tjitajam jadi debitur bank yang dilikuidasi oleh negara. Sehingga asetnya diamankan oleh Satgas BLBI. Kalau memang ada, kami bayar itu semua hutangnya. Tetapi dengan catatan bahwa aset kami itu tidak boleh disita atau dikuasai oleh negara,” tegas Reynold.
Seharusnya, sambung Reynold, putusan pengadilan produk hukum negara dalam proses penegakan hukum setingkat undang-undang. Artinya semua harus tunduk pada putusan pengadilan termasuk institusi pemerintah.
“Kalau klien kami sudah menang berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap, terus sekarang negara mau merampas hak klien kami? Jangan sampai terjadi abuse of power (Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan),” kata Reynold.
Dalam perkara ini, Reynold meminta, agar isi putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu dihormati dan dilaksanakan. Jangan sampai Pemkot Depok mau membangun kotanya dengan merampas hak orang lain.
“Karena lahan milik PT Tjitajam dalam hal sita jaminan dari tahun 1999 itu dan dilanjutkan tahun 2018 oleh Pengadilan Negeri Cibinong, dan justru pada 2023 baru diakui sebagai hak Satgas BLBI,” tutur Reynold.
Kalau mengikuti cara berpikir Satgas BLBI, Reynold mengatakan, penyitaan aset tersebut merujuk Pada Surat Keputusan (SK) Kantor Wilayah BPN Jawa Barat No 960 Tahun 1997, atau sebelum terbit SHGB 257/Cipayung Jaya tahun 1999.
“Jadi sebelum terbitnya SHGB itu terbit dulu SK Kanwil BPN Jawa Barat tersebut. Nah, SK Kanwil itu yang dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu, untuk dijadikan jaminan ke bank sentral dagang lalu masuk ke Satgas BLBI,” kata Reynold.
Yang terpenting, sambung Reynold, sesuai dengan fakta persidangan tidak ada catatan hak tanggungan atau hak jaminan apapun, di dalam buku tanah SHGB Nomor 257/Cipayung Jaya atas nama PT Tjitajam.
“Kecuali sita jaminan pengadilan. Ini semakin menjadi tanda Tanya besar. Ada permainan apa dibalik semua ini?,” tutur Reynold.
Untuk langkah kedepannya, Reynold mengungkapkan, pihaknya masih menunggu apa dasar dari Pemkot Depok mau membangun stadion bertaraf internasional itu. Pihaknya akan terus menggugat jika ada pembangunan di lahan tersebut.
“Apa dasar pemerintah mau membangun stadion itu? Kami akan gugat terus kalau ada pembangunan di lahan itu. Karena ini cacat administratif dan berpotensi merugikan keuangan negara. Jika analogi hukumnya didasari izin dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), berarti Kemenkeu kasih ke mereka hak pengelolaan yang dikuasai oleh negara. Sedangkan ini lahan orang lain, kok dikuasai negara? Dasarnya apa?,” tanya Reynold.
Dalam perakara ini, Reynold mengatakan, pihaknya juga sudah melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemkot Depok tersebut.
“Sudah kami laporkan ke KPK juga untuk diawasi. Karena ini berpotensi merugikan keuangan negara. Menurut saya Depok juga belum butuh lah stadion bertaraf internasional itu. Apalagi merampas hak orang lain,” pungkas Reynold.
Disisi lain, Walikota Depok Supian Suri menegaskan bahwa atas polemik tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum. (Udine)