DEPOKTIME.COM, Depok – Dari perspektif ekonomi dan politik, pemerintah menghadapi tantangan untuk membuat kebijakan yang tepat terkait krisis minyak goreng di Indonesia. Dalam konteks pasar, kebijakan tidak dilihat dari perilaku jual-beli tetapi dari aktor konstituen yaitu rakyat yang memegang peranan penting.
Pemaparan tersebut disampaikan oleh Meidi Kosandi, Ph.D. selaku dosen Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI) dalam webinar “Strategi Penyelesaian Krisis Minyak Goreng di Indonesa” pada Kamis (31/3/2022) lalu.
Kelangkaan minyak goreng dialami masyarakat selama lebih kurang beberapa bulan terakhir. Secara ekonomi, harga minyak goreng di pasar domestik terjadi karena perubahan harga bahan baku. Kenaikan harga minyak goreng terebut selaras dengan melonjaknya harga minyak mentah sawit Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku utama minyak goreng.
Berbeda halnya, jika kenaikan harga minyak goreng ini ditelaah dari sudut pandang politik. Pemerintah harus menyadari tidak ada kebijakan ekonomi dan politik yang bisa memuaskan semua pihak. Setiap kelompok berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan usaha sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan ekonomi dan politik, selalu ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan.
Menurut Meidi, dalam kasus kelangkaan minyak goreng, pemerintah menghadapi dilema antara pasar dan masyarakat. Isu ini dilatarbelakangi kenaikan harga minyak sawit di dunia.
Minyak goreng kemasan langka ketika diterapkan skema Harga Eceran Tertinggi (HET), namun ketika mengkuti harga pasar, muncul isu sosial dan politik di masyarakat. Selain itu, ada pula isu ketidakberpihakan pemerintah pada masyarakat serta munculnya kartel minyak goreng, persekutuan antara dua pihak atau lebih yang mengambil keuntungan dari penjualan minyak goreng.
“Isu kartel minyak goreng ini seakan dibenarkan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Muhammad Lutfi, di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dengan kewenangan kementerian yang terbatas, Lutfi menyebutkan adanya mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan pribadi sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Mafia atau kartel ini dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran,” ujar Meidi.
Meidi menambahkan, ada beberapa kebijakan negara di sektor industri sawit. Pertama, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit yang diterapkan sejak 2007. Dengan berbagai inovasi, Indonesia berhasil mengembangkan 168 jenis produk turunan, 80% ekspor produk turunan, serta produksi minyak goreng. Kedua, adanya sentralisasi di bawah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) serta diterapkannya program B30.
Program Mandatori Biodiesel 30% (B30) merupakan program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 30% Biodiesel dan 70% bahan bakar minyak jenis solar. Program ini diklaim menguntungkan negara melalui penambahan devisa sebab 30% bahan baku untuk pembuatan solar diperoleh dari komoditas kelapa sawit Indonesia.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengembangan industri sawit di dalam negeri. Meski begitu, negara menghadapi dilema karena dalam mengembangkan industri kelapa sawit, negara diterpa berbagai isu, seperti lingkungan hidup, alih lahan hutan, dan isu keberpihakan pada masyarakat.
Dalam menerapkan kebijakan, ada kecenderungan dominasi dari paradigma kekuasaan. Beberapa narasi pun muncul terkait kenaikan harga minyak goreng, misalnya narasi ketergantungan konsumsi minyak goreng di dalam negeri, sehingga diperlukan perubahan perilaku masyarakat dan narasi penimbunan minyak goreng. Narasi-narasi seperti ini bisa jadi benar, namun dalam praktiknya semua permasalahan yang berhubungan dengan suplai ini sering dikaitkan dengan persoalan lain, contohnya politik.
Ada beberapa pilihan kebijakan yang bisa diterapkan terkait permasalahan kenaikan harga minyak goreng. Pemerintah dapat membangun industri kelapa sawit berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat dalam kebijakan negara. Dari sisi regulasi, pemerintah harus membuat pengaturan untuk prioritas suplai pasar domestik dan menerapkan insentif perdagangan domestik.
Sementara itu, terkait distribusi, pasar domestik harus dilindungi dan pengawasan terhadap pasar domestik dan perdagangan internasional harus diperketat. Kebijakan juga harus redistributif. Artinya, pendapatan produk sawit digunakan untuk lingkungan hidup, industri dan pasar domestik. (Udine).