Darurat Perlindungan Anak di Indonesia, JMS: Hentikan Kekerasan pada Anak 

Anak
Tersangka RK menjalani pemeriksaan kesehatan di Polres Metro Depok. (Foto: Akhirudin)

DEPOKTIME.COM, Depok – Hari Anak Nasional 2025 dengan tema “Sinergi Pelindungan dan Pemenuhan Hak Anak untuk Masa Depan yang Lebih Baik” menjadi panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan dan mengevaluasi secara kritis perlindungan anak di Indonesia.

Salah satu kasus kekerasan yang menjadi sorotan publik dalam beberapa bulan terakhir adalah kasus pelecehan seksual melibatkan seorang anggota legislatif di Kota Depok.

Kejadian ini mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap figur pejabat publik yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru diduga melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur.

“Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa kekerasan anak tidak mengenal latar belakang sosial dan jabatan seseorang, dan penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu demi keadilan dan perlindungan korban,” ujar Sahat Farida, perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kawal Kebijakan Adil Gender dalam keterangan resminya, Jumat, 25 Juli 2025.

Selain itu, banyak anak-anak terpaksa bekerja karena berasal dari keluarga miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, sehingga anak tidak mendapat kesempatan berkembang secara optimal.

“Praktik ini merupakan bentuk eksploitasi yang melanggar hukum karena menghilangkan hak anak untuk bermain dan belajar,” sambungnya.

Tantangan kompleks berupa kekerasan hingga eksploitasi ini mengancam tumbuh kembang dan masa depan anak-anak Indonesia.

Pelaku kekerasan terhadap anak pun tidak hanya orang dewasa, namun juga sesama anak-anak, baik dalam bentuk perundungan maupun penganiayaan fisik.

Kondisi ini utamanya dipicu kurangnya pendidikan karakter dan pola asuh yang tidak sehat di rumah, diperparah dengan kecanduan gim online yang memuat unsur kekerasan dan diduga turut berkontribusi memperparah pola perilaku agresif di kalangan remaja.

Tidak hanya itu, perundungan di sekolah mempengaruhi lebih dari 30% siswa di berbagai provinsi, sementara eksploitasi dan keterlibatan anak dalam kegiatan berisiko di jalanan masih menjadi ancaman luas.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 3.000 kasus kekerasan anak dilaporkan setiap tahun, dengan jenis kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang paling umum.

Praktik berbahaya lain seperti sunat perempuan atau Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) dan perkawinan anak masih menjadi momok untuk anak-anak perempuan di beberapa wilayah.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa prevalensi pernikahan anak masih tinggi.

Di wilayah dengan kerentanan sosial ekonomi tinggi yang seringkali memicu kekerasan dan berujung pada pelanggaran hak anak atas pendidikan dan masa depan, prevalensinya mencapai 1015%. Belum lagi, eksploitasi anak dalam aktivitas ilegal seperti pengamen jalanan atau pertunjukan berbahaya.

“Semua ini memperburuk kerentanan anak dan memperlihatkan betapa luas dan mendalamnya masalah perlindungan anak yang harus segera diatasi,” ungkap Rena Herdiyani, yang juga tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kawal Kebijakan Adil Gender.

Lebih lanjut, Rena menjelaskan bahwa masalah utama terletak pada budaya kekerasan yang mengakar, kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, serta lemahnya pemahaman dan penegakan hukum. Masyarakat cenderung menyembunyikan kasus kekerasan karena stigma dan ketakutan memperparah ketidakadilan bagi anak-anak yang menjadi korban.

Hal ini menghalangi mereka dari akses pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun pemulihan psikososial yang memadai.

Upaya-upaya pencegahan dan perlindungan telah dilakukan, namun masih jauh dari layak. Penting untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah, mengintensifkan kampanye kesadaran masyarakat, serta mengintegrasikan dan mendukung layanan pendampingan dan pemulihan korban secara berkelanjutan.

Hanya dengan pendekatan komprehensif yang mencakup penegakan hukum yang optimal dan perubahan budaya yang tidak lagi mentolerir kekerasan, kita dapat memastikan anak-anak benar-benar terlindungi dan memiliki akses terhadap masa depan yang sehat dan produktif Kolaborasi lintas sektoral dan lintas lapisan masyarakat dalam memberikan perlindungan menyeluruh menjadi penting.

Pemerintah, masyarakat sipil, dunia pendidikan, penegak hukum, hingga keluarga harus bergerak bersama untuk memastikan setiap anak mendapat haknya, terpenuhi segala kebutuhannya, serta terhindar dari kekerasan, eksploitasi, dan berbagai praktik yang membahayakan kesejahteraan dan masa depan mereka.

Perlindungan anak di Indonesia penuh dengan tantangan. Sistem hukum dan penegakannya masih menghadapi banyak hambatan terutama dalam memproses pelaku kekerasan dan eksploitasi anak. Akses layanan perlindungan terpadu yang inklusif, ramah anak, dan berkelanjutan menghambat proses pemulihan korban masih terbatas.

Kesadaran dan edukasi masyarakat masih rendah tentang pentingnya perlindungan anak, serta masih kuatnya norma budaya yang membungkam korbannya. Data akurat terbatas untuk memetakan dan menanggulangi fenomena pekerja anak serta praktik berbahaya lainnya secara efektif. Dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga rentan yang menjadi penyebab utama anak-anak harus bekerja atau mengalami kekerasan pun masih kurang.

Oleh karenanya, di Hari Anak Nasional 2025, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kawal Kebijakan Adil Gender mendesak KemenPPPA, KPAI, Kepolisian, Kementerian Pendidikan, dan para pemangku kepentingan lain untuk mengambil aksi nyata. (Udine)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *