Kasus Asusila Anggota DPRD Depok, JMS Desak JPU Segera Evakuasi Korban Kekerasan Seksual 

Rudy
Terdakwa Rudy Kurniawan saat memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Depok. (Foto: Akhirudin)

DEPOKTIME.COM, Depok – Dalam kasus kekerasan seksual, tindak pidana asusila yang menimpa anak dibawah umur dengan terdakwa yakni anggota DPRD Depok Rudy Kurniawan, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) medesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kota Depok agar segera mengevakuasi korban kekerasan seksual dari lingkungan pelaku.

Jaringan Masyarakat Sipil, menyampaikan keprihatinan serius atas pengabaian negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini.

Sidang yang akan memasuki agenda pemeriksaan saksi korban pada Rabu, 16 Juli 2025, semakin memperparah situasi, mengingat hingga saat ini korban masih berada dalam penguasaan keluarga pelaku.

Meski telah ditetapkan sebagai terdakwa, Rudy Kurniawan sendiri hingga saat ini masih menerima gaji, tunjangan dan fasilitas sebagai anggota DPRD Depok.

“Situasi ini, bagi kami, semakin memperparah kerentanan anak sebagai korban kekerasan seksual, terutama ketika pelakunya adalah pejabat publik, seperti anggota DPRD dan partai politik,” ujar Tuani Marpaung melalui keterangan resminya kepada awak media, Senin, 14 Juli 2025.

Lebih lanjut ditegaskan, kondisi ini sangat berisiko terhadap keamanan dan psikologis korban, dan menunjukkan kegagalan dalam perlindungan yang semestinya diberikan oleh negara.

“Kami menilai bahwa aparat penegak hukum, khususnya Jaksa Penuntut Umum, telah gagal menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya dalam melindungi korban,” tegasnya.

Padahal, Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 secara tegas mewajibkan adanya pertemuan pendahuluan antara jaksa dan korban untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka—seperti rumah aman, pendampingan psikologis, serta bentuk pemulihan lain yang menjadi ranah kerja UPTD PPA Depok dan LPSK.

Namun, dalam kasus ini, kewajiban vital tersebut tidak terlaksana.

Lebih jauh, pertemuan pendahuluan menjadi krusial mengingat proses pemeriksaan di tingkat kepolisian telah berlangsung lama.

“Korban perlu difasilitasi untuk membaca ulang dokumen-dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat saat penyidikan agar dapat mempersiapkan diri menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan saksi dengan lebih baik. Ini penting agar proses persidangan berjalan secara adil dan tidak membebani korban lebih lanjut secara mental maupun hukum,” jelasnya.

Hingga hari ini, sambungnya, pertemuan pendahuluan belum dilakukan, bahkan kebutuhan fisik dan psikis korban tidak pernah diasesmen. Padahal, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum membuka ruang agar korban dapat diperiksa melalui video konferensi apabila memiliki keterbatasan fisik atau psikis.

Namun, ketiadaan asesmen awal ini mengakibatkan belum adanya langkah dari aparat penegak hukum untuk memastikan apakah korban berhak atau memerlukan pemeriksaan jarak jauh.

“Yang lebih memprihatinkan, penanganan kasus ini juga diwarnai dengan saling lempar tanggung jawab antar lembaga. Tidak ada kejelasan siapa yang memimpin pemenuhan hak-hak korban, terutama dalam melakukan evakuasi korban dari kediaman rumah pelaku yang krusial bagi keamanan dan pemulihan psikologis korban, telah menjadi hambatan serius,” imbuhnya.

“Situasi ini mencederai prinsip hukum acara dan merusak harapan akan keadilan substantif bagi korban, khususnya anak perempuan sebagai penyintas kekerasan seksual,” tambahnya.

Pengabaian terhadap hak-hak korban dalam kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap kewajiban hukum negara, tidak hanya dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) nasional, tetapi juga internasional.

Indonesia, melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, telah secara tegas menyatakan komitmennya untuk mengutuk dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini secara eksplisit mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang tepat, cepat, dan tanpa penundaan guna mencegah, menghapus, serta tidak melakukan praktik-praktik diskriminatif, sekaligus menjamin bahwa seluruh pejabat dan lembaga negara bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut.

“Oleh karena itu, pengabaian perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban dalam kasus ini merupakan cerminan kegagalan negara dalam memenuhi amanat CEDAW, khususnya dalam memastikan non-diskriminasi dan perlindungan menyeluruh bagi perempuan,” tukasnya.

Lebih lanjut, pengabaian dalam menjamin perlindungan korban juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang secara tegas menyatakan bahwa setiap korban berhak atas perlindungan menyeluruh, akses terhadap keadilan, pemulihan yang layak, serta terbebas dari segala bentuk tekanan, intimidasi, atau ancaman dalam proses hukum.

Atas hal tersebut Jaringan Masyarakat Sipil mendesak :

1.      Jaksa Penuntut Umum untuk segera melakukan evakuasi korban dari lingkungan pelaku. Serta melaksanakan pertemuan pendahuluan dengan korban untuk mengidentifikasi kebutuhan perlindungan dan pemulihan, sesuai dengan kewajiban hukum dan etika profesi.

2.      Kepolisian Republik Indonesia, untuk menindak tegas siapapun yang merintangi proses penegakan hukum dalam kasus ini.

3.      Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk segera turun tangan secara langsung dalam memastikan korban mendapatkan perlindungan yang layak dan komprehensif, termasuk berkoordinasi dengan lembaga terkait untuk segera memindahkan korban ke lokasi yang aman. Mengeluarkan pernyataan publik dan sikap resmi atas kasus ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap korban anak dan mendorong perbaikan sistemik dalam perlindungan korban kekerasan seksual. Memastikan tersedianya layanan pendampingan dan pemulihan terpadu bagi korban, termasuk layanan psikososial dan hukum, sesuai mandat perlindungan anak yang diemban Kemen PPPA.

4.      LPSK segera meninjau kembali kebutuhan perlindungan korban secara menyeluruh, termasuk asesmen untuk pemenuhan kebutuhan rumah aman dan dukungan psikologis.

5.      Pengadilan Negeri Depok dan aparat terkait agar memastikan pemenuhan hak korban untuk pemeriksaan secara layak, termasuk kemungkinan pemeriksaan jarak jauh (video conference).

6.      KPAI, Komnas Perempuan, dan lembaga pengawas lainnya turut melakukan pemantauan aktif dan mendesak penyelenggara peradilan agar berpihak pada pemulihan korban.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan berat yang harus ditanggapi dengan perlindungan luar biasa. Ketidakmampuan negara dalam menjamin hak-hak dasar korban merupakan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan keadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kami menyerukan seluruh elemen negara yang terkait untuk segera bertindak. Demi setiap anak Indonesia, kita wajib menghentikan trauma dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Kini saatnya negara hadir sepenuhnya, menunaikan janji konstitusi, dan mengembalikan harapan bagi yang paling rentan. (Udine)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *