DEPOKTIME.COM, Depok – Kasus dugaan asusila yang dilakukan oknum Anggota DPRD Kota Depok, Rudy Kurniawan (RK) dengan korban anak dibawah umur telah masuk dalam tahapan persidangan di Pengadilan Negeri Depok. Anehnya, dalam tahap persidangan ditemukan banyak kejanggalan.
Tahap persidangan telah sampai pada agenda pemeriksaan sejumlah saksi yang mencakup korban, orang tua korban (Pelapor), dan kakak kandung korban.
Berdasarkan informasi dari kuasa hukum terdakwa RK, korban menyatakan bahwa tidak ada tindak asusila atau hal lainnya yang dilakukan Rudy Kurniawan. Pernyataan itu disampaikan saat sidang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Depok, Rabu, 16 Juli 2025.
Pernyataan korban pada sidang tersebut dinilai janggal, mengingat semua proses untuk mengumpulkan bukti perkara itu sudah dilengkapi. Bahkan, perkara ini sudah sampai pada tahap digelarnya persidangan.
Tak menutup kemungkinan, ada indikasi tekanan yang dialami terhadap pihak korban. Sehingga keterangan yang diberikan saat persidangan itu berbelit, alias tak sesuai dengan laporan yang diterima pihak kepolisian.
Menurut Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, ketika perkara sudah sampai di pengadilan, artinya sudah ada dua kali skrining. Pertama, skrining oleh polisi sendiri melalui mekanisme gelar perkara.
Kedua oleh jaksa, saat memeriksa berkas polisi melalui mekanisme P-21 (Berkas perkara dinyatakan lengkap). Dalam hal ini sedikit sekali kasus yang akhirnya bisa disidangkan itu melenceng, alias tidak pernah terjadi tindak pidana.
“Artinya, sangat jarang sekali persidangan yang tidak ada tindak pidananya. Karena sudah ada dua kali skrining itu. Dari gelar perkara dan berkas yang dinyatakan lengkap atau P-21,” terang Adrianus saat dikonfirmasi awak media, Kamis, 17 Juli 2025.
Atau bisa saja terjadi peradilan sesat (miscarriages of justice), kata Adrianus, di mana orang yang diajukan sebagai tersangka sebetulnya tidak pernah berbuat. Itu artinya polisi harus mampu menghadirkan skenario yang kuat.
“Kalau jaksa terlibat, mungkin lebih mudah memuluskannya. Masalahnya, ini agenda siapa sehingga dua instansi penegak hukum mau menggadaikan kebenaran?,” tanya Adrianus.
Kemudian, sambungnya, ada juga kemungkinan saksi bingung atau pusing karena ditekan penegak hukum melihat dari jauh. Sehingga keterangannya berbelit-belit saat berlangsungnya persidangan pada kasus tersebut.
“Ada kemungkinan tekanan kepada pihak korban. Masalahnya karena saksi awam hukum. Sehingga tidak mengerti, jika keterangan mereka berbeda itu bisa kena pidana juga. Korban bisa juga kehilangan haknya atas keadilan terhadap pelaku,” terang Adrianus.
Kejanggalan-kejanggalan dalam tahapan persidangan juga dilihat oleh Jaringan Masyarakat Sipil (JMS).
JMS medesak Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kota Depok agar segera mengevakuasi korban kekerasan seksual dari lingkungan pelaku.
JMS menyampaikan keprihatinan serius atas pengabaian negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini.
Sidang yang akan memasuki agenda pemeriksaan saksi korban pada Rabu, 16 Juli 2025, semakin memperparah situasi, mengingat hingga saat ini korban masih berada dalam penguasaan keluarga pelaku.
Meski telah ditetapkan sebagai terdakwa, Rudy Kurniawan sendiri hingga saat ini masih menerima gaji, tunjangan dan fasilitas sebagai anggota DPRD Depok.
“Situasi ini, bagi kami, semakin memperparah kerentanan anak sebagai korban kekerasan seksual, terutama ketika pelakunya adalah pejabat publik, seperti anggota DPRD dan partai politik,” ujar Tuani Marpaung.
Lebih lanjut ditegaskan, kondisi ini sangat berisiko terhadap keamanan dan psikologis korban, dan menunjukkan kegagalan dalam perlindungan yang semestinya diberikan oleh negara.
“Kami menilai bahwa aparat penegak hukum, khususnya Jaksa Penuntut Umum, telah gagal menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya dalam melindungi korban,” tegasnya.
Padahal, Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 secara tegas mewajibkan adanya pertemuan pendahuluan antara jaksa dan korban untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka—seperti rumah aman, pendampingan psikologis, serta bentuk pemulihan lain yang menjadi ranah kerja UPTD PPA Depok dan LPSK.
Namun, dalam kasus ini, kewajiban vital tersebut tidak terlaksana.
Lebih jauh, pertemuan pendahuluan menjadi krusial mengingat proses pemeriksaan di tingkat kepolisian telah berlangsung lama.
“Korban perlu difasilitasi untuk membaca ulang dokumen-dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat saat penyidikan agar dapat mempersiapkan diri menjawab pertanyaan dalam pemeriksaan saksi dengan lebih baik. Ini penting agar proses persidangan berjalan secara adil dan tidak membebani korban lebih lanjut secara mental maupun hukum,” jelasnya.
“Situasi ini mencederai prinsip hukum acara dan merusak harapan akan keadilan substantif bagi korban, khususnya anak perempuan sebagai penyintas kekerasan seksual,” tambahnya.
Pengabaian terhadap hak-hak korban dalam kasus ini merupakan pelanggaran serius terhadap kewajiban hukum negara, tidak hanya dalam kerangka Hak Asasi Manusia (HAM) nasional, tetapi juga internasional.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Anti Cabul (AMAC) menuntut hukuman berat bagi oknum DPRD Depok pelaku tindak asusila atau tindak cabul kepada anak dibawah umur.
MK Fadiga katakan bahwa pelaku pencabulan harus di hukum berat. Jangan ada permainan hukum di kasus pencabulan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh tersangka RK, yang tercatat sebagai anggota DPRD Depok.
“Hukum harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya jangan ada ampun bagi perusak masa depan anak,” ujar MK Fadiga.
Dirinya menegaskan harus ada efek jera bagi pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur supaya jadi contoh untuk yang lain bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak betul-betul di tegakkan demi melindungi anak-anak dan perempuan Indonesia dari ancaman kekerasan.
“Segera tuntaskan kasus pencabulan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tersangka RK. Hukum seberat beratnya tersangka RK agar menjadi efek Jera. Sebagai wakil rakyat seharusnya memberi contoh yang baik pada rakyat, bukan malah merusak masa depan anak,” tegasnya.
Dirinya berharap kepada Hakim dan jaksa jangan pernah main-main terhadap kasus ini.
“Jangan ada suap, gratifikasi maupun sogokan. Pengadilan adalah tempat rakyat untuk mencari keadilan,bukan untuk mempermainkan keadilan. Tegakkan hukum setegak-tegaknya, seadil-adilnya,” pungkasnya. (Udine)