DEPOKTIME.COM, Depok – Walikota Depok terpilih pada tahun 2006, Nur Mahmudi Ismail terjerat kasus dugaan korupsi sejak 2018 silam, kembali mencuat ke permukaan publik.
Perihal dugaan korupsi tersebut terkuat kembali dan disorot oleh seorang pengacara bernama Adnan M. Balfas.
Adnan dan tim melayangkan permohonan praperadilan atas penghentian penyelidikan dan penyidikan mantan Walikota Depok, Nur Mahmudi Ismail sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi proyek jalan.
Selain Nur Mahmudi Ismail, Adnan juga menyeret mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Depok, Harry Prihanto dalam praperadilan itu Nomor: 5/Pid.Pra/2025/PN.Dpk.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Depok, Andry Eswin Sugandhi Oetara membenarkan adanya permohonan praperadilan atas kasus Nur Mahmudi.
Belakangan diketahui, rupanya sidang praperadilan telah berjalan dan putusannya akan dibacakan besok, Selasa 11 November 2025.
“Ya besok, agenda persidangan adalah putusan,” katanya melalui pesan singkat WhastApp saat dikonfirmasi pada Senin, 10 November 2025.
Seperti diketahui, politikus senior PKS, Nur Mahmudi Ismali telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus itu sejak 20 Agustus 2018, lalu.
Ia tak sendiri. Dalam perkara ini, polisi juga menjerat mantan Sekda Depok, Harry Prihanto.
Keduanya dijerat atas kasus dugaan korupsi terkait dengan pelebaran Jalan Nangka, Kecamatan Tapos, Depok pada tahun anggaran 2015.
Kala itu, usai menjalani serangkaian proses pemeriksaan atas kasus dugaan korupsi, Nur Mahmudi nyaris tak bisa berkata-kata ketika dicecar sejumlah awak media yang menunggunya sejak pagi.
Penggagas one day no rice itu terlihat cukup lelah. Langkahnya pun gontay ketika berusaha menerobos barisan wartawan menuju mobil pribadinya.
“Nanti saja ya sama pengacara saya,” katanya dengan wajah tertunduk, Kamis malam, 13 September 2018.
Dari beberapa pertanyaan yang dicecar jurnalis, salah satunya adalah dugaan aliran dana yang juga diterima Nur Mahmudi oleh Cempaka Group, selaku pengembang yang membangun apartemen Green Lake View di sekitar Jalan Nangka.
Data yang dihimpun menyebutkan, ada sekitar 17 warga yang disebut-sebut telah menerima uang ganti rugi atas pembebasan lahan tersebut.
Jumlah kompensasinya pun beragam, antara Rp 5 juta hingga Rp11 juta per meter persegi, tergantung lokasi tanah dan bangunan.
Namun, urusan pergantian lahan ini belum beres sepenuhnya. Pemerintah Kota Depok kala itu menganggarkan Rp17 miliar pada APBD 2015 untuk ganti rugi ini.
Adapun kerugian negara disebut-sebut mencapai Rp10,7 miliar. Dana itu disinyalir berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD.
Tak hanya itu, mantan kedua pejabat itu juga diduga menerima aliran dana tanpa persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok. (Udine)












