BERITA  

Oknum K3S Diduga Markup Harga Pengadaan Seragam SMPN

DEPOKTIME.COM, Depok-Pengadaan seragam bagi siswa siswi SMPN Kota Depok diduga di Markup oleh oknum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S). Tentunya hal tersebut menjadi sorotan tajam bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Pemantau Anggaran Sekolah (Lepas).

Selaku Sekjen LSM Lepas, Rasikin Ridwan memaparkan tentang pengadaan seragam sekolah di SMP Negeri se-Kota Depok tahun 2018 yang dikordinasikan oleh oknum K3S. Dan pihak sekolah dengan sengaja dan mengizinkan praktik Markup untuk pengadaan seragam sekolah.

“Hampir semua SMPN yang ada di Depok diduga dengan sengaja menetapkan harga seragam. Dengan kisaran harga dari Rp.950.000 hingga Rp. 1.300.000,” papar Rasikin kepada awak media pada Senin (17/12/2018).

Dirinya menambahkan bahwa pihak sekolah dengan sengaja memanfaatkan momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk meraih keuntungan dari pengadaan seragam dengan berkomunikasi terlebih dahulu dengan pihak penjahit seragam.

“Diduga juga ada upaya pihak sekolah meminta komisi atau menitipkan harga kepada penjahit. Hal ini menyebabkan harga yang harus dibayar oleh orangtua siswa menjadi lebih tinggi,” tambah Rasikin.

Dirinya menilai, Walaupun menggunakan kwitansi dari pihak penjahit, tetapi pada praktiknya terang-terangan melibatkan pendidik serta tenaga kependidikan turut serta dalam transaksi jual beli dilakukan terbuka di area sekolah.

Praktik ini tegas Rasikin jelas telah melanggar peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan, pasal 181 dan 198 yang melarang pendidik atau tenaga pendidik, komite sekolah dan dewan pendidikan, baik secara perseorangan atau kolektif, tidak diperbolehkan untuk menjual pakaian seragam ataupun bahan seragam.

“Peraturan lain yaitu Permendikbud Nomor 45 tahun 2014 Bab IV pasal 4, bahwa pengadaan pakaian seragam sekolah diusahakan sendiri oleh orangtua atau wali peserta didik dan pengadaannya tidak boleh dikaitkan dengan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau kenaikan kelas,” jelasnya.

Tentu saja dugaan ini beralasan, sambung pria berkumis tipis ini mengatakan bahwa kwitansi pembelian seragam juga tidak di tulis mengenai rincian item seragam yang di beli.

“jadi seperti kwitansi primitif lah begitu, Atau bisa juga saya sebut sebagai kwitansi abal-abal. Ini kan sudah merupakan indikasi adanya upaya menyembunyikan suatu kebohongan.” ujar Rasikin.

Dirinya juga mengatakan praktik jual beli seragam tersebut juga dapat di kategorikan sebagai tindak pidana korupsi berupa gratifikasi. Dimana pengertian gratifikasi tersebut menurut Rasikin terdapat pada penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam penjelasan Pasal 12B itu disebut, yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.” pungkasnya.(Udine/DT/DN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *